Muratara –MatahariNews- Selasa,pagi (3/6/2025), semangat jurnalis muda Elda — reporter media Elpublika — begitu tinggi. Ia bersiap untuk meliput momen penting: pelantikan CPNS dan P3K di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara). Namun, alih-alih membawa pulang berita, Elda justru membawa pulang kekecewaan dan pengalaman yang menyakitkan bagi kebebasan pers.
Datang sekitar pukul 07.40 WIB, Elda bermaksud menunggu prosesi pelantikan selesai, lalu mewawancarai beberapa narasumber. Namun, ia mengaku justru dihadang oleh seorang anggota Satpol PP berinisial “D” dan tidak diperbolehkan masuk ke lokasi acara.
“Saya ditahan di luar pagar. Katanya tidak boleh masuk. Padahal acara sudah selesai. Ironisnya, saya lihat Ketua DPRD baru datang pukul 08.16 dan langsung dibukakan gerbang,” ungkap Elda dengan nada kecewa.
Bagi Elda, ini bukan hanya soal akses, tapi soal keadilan. Ia merasa profesinya sebagai jurnalis diperlakukan tidak adil, terlebih ketika pejabat masih bisa masuk dengan mudah sementara media — pilar keempat demokrasi — malah dihalangi.
“Kalau memang tidak boleh masuk, seharusnya semua diperlakukan sama. Tapi kenyataannya tidak begitu. Ini mencederai sila kelima Pancasila, dan lebih jauh lagi, melanggar UU Pers No. 40 Tahun 1999,” tambahnya.
Pintu Dibuka untuk Pejabat, Tertutup untuk Jurnalis
Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa akses ke area pelantikan memang tampak selektif. Setelah prosesi selesai, pagar hanya dibuka untuk sejumlah pejabat, sementara jurnalis dan masyarakat tetap tertahan di luar pagar.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang memberi perintah agar media dibatasi? Dan mengapa setelah acara selesai pun wartawan tetap tidak diberi akses?
Menanggapi kejadian tersebut, Wakil Bupati Muratara, Junius Wahyudi, memberikan klarifikasi.
“Tidak ada larangan untuk wartawan masuk setelah acara selesai. Kalau telat waktu prosesi, masih bisa dimaklumi. Tapi untuk wawancara pasca-acara, harusnya boleh. Saya juga heran, ternyata wartawan ditahan di luar. Saya baru tahu,” ujarnya.
Permintaan Maaf dan Seruan Evaluasi
Di sisi lain, Kasat Pol PP Muratara, Sumedi, menyampaikan permintaan maaf atas tindakan oknum anggotanya.
“Kami mohon maaf. Tidak ada niat untuk membatasi kerja media. Anggota akan kami bina agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi,” tegasnya.
Meski sudah ada klarifikasi dan permintaan maaf, peristiwa ini menyisakan luka bagi komunitas jurnalis di Muratara. Banyak yang menilai bahwa peristiwa ini bukan hanya insiden kecil, tetapi simbol lemahnya penghormatan terhadap kebebasan pers.
Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Muratara, Mahmud, menyatakan bahwa kejadian ini harus menjadi bahan evaluasi serius.
“Jangan sampai ada pembiaran atas tindakan yang melecehkan profesi wartawan. Negara menjamin kebebasan pers. Kami minta Pemda menindak tegas siapa pun yang membungkam kerja jurnalis, termasuk oknum Satpol PP yang bersikap arogan,” tegas Mahmud.
Jurnalis Bukan Ancaman — Mereka Mata Publik
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa jurnalis bukan musuh. Mereka hadir bukan untuk mencari sensasi, melainkan untuk memastikan informasi sampai ke publik secara jujur. Tindakan menghalangi kerja wartawan, apalagi tanpa alasan yang jelas, bukan hanya menghambat informasi — tetapi juga melanggar hukum.
Elda mungkin hanya satu dari sekian banyak jurnalis lapangan yang bekerja dalam senyap, kadang tanpa perlindungan, namun tetap teguh pada tugas: mencari kebenaran dan menyuarakan suara rakyat.
Ar.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar